Monday, 11 November 2019

0 PENGGUNAAN OBAT "OFF-LABEL" IBARAT PEDANG BERMATA DUA


PENGGUNAAN OBAT "OFF-LABEL" IBARAT PEDANG BERMATA DUA

 Beberapa waktu yang lalu ada salah seorang teman wanita saya yang bertanya, "Eh, gue kan gak sakit #diabetes yah, kok gue sama #dokter A dikasi Metformin?

Metformin bukannya obat diabetes? Tante gue punya penyakit diabetes, dia udah lama pake Metformin. Apa dokternya salah ya?".

Singkat kata, teman saya ini baru saja menikah namun belum bisa memiliki anak karena dia menderita Polycystic Ovary Syndrome (PCOS), yakni adanya ketidakseimbangan kadar hormonal pada wanita, dimana hormon Androgen (yang biasanya kadarnya lebih besar pada laki-laki) diproduksi berlebihan oleh tubuh.

Setelah berkonsultasi ke dokter A itu, dia diberi beberapa obat untuk mengendalikan gejala PCOS, salah satunya Metformin tadi.

Dan sekarang dia bertanya-tanya mengapa dia diberi obat diabetes padahal dia tidak menderita penyakit diabetes.

Dalam dunia #kedokteran dan #farmasi, ada istilah obat off-label (Off-Label Drug).

Jadi apakah yang dimaksud dengan obat off-label?

Obat off-label pada dasarnya berarti obat yang diresepkan oleh dokter di luar indikasi dalam brosur atau label yang telah disetujui oleh lembaga atau badan yang berwenang atau diberikan dalam bentuk sediaan yang berbeda dengan yang disetujui (misalnya seharusnya diberi dalam bentuk kapsul, tapi diberikan dalam bentuk larutan suspensi) atau diberikan dengan dosis yang berbeda dari yang telah tercantum dalam brosur obat (bisa lebih kecil atau lebih besar).

Badan yang berwenang yang dimaksud di sini adalah #BPOM (Indonesia) atau Food and Drug Administration/#FDA (Amerika Serikat) atau Medicines and Healthcare Products Regulatory Agency/#MHRA (Inggris) dan lainnya.

Seperti yang pernah saya tulis dalam artikel-artikel sebelumnya bahwa badan atau lembaga ini berwenang memberikan persetujuan peredaran makanan atau obat, setelah mengevaluasi dan memvalidasi data pendukung terkait khasiat dan keamanan produk, termasuk segala informasi yang tercantum dalam kemasan.

Sekarang mungkin Pembaca sekalian jadi berpikir, bukankah berbahaya meresepkan obat yang indikasinya belum disetujui kepada pasien?

Apa alasannya dokter meresepkan obat off-label kepada pasien untuk mengobati penyakit tertentu?

Peresepan obat off-label adalah peresepan yang umum dilakukan.

Salah satu alasannya bisa jadi memang belum ada obat yang disetujui untuk mengobati suatu penyakit tertentu.

Oleh sebab itu, boleh dibilang dokter memiliki hak prerogatif untuk meresepkan obat kepada pasien diluar indikasi yang disetujui dan tentunya informasi penggunaan obat off-label ini telah didasarkan pada jurnal-jurnal ilmiah kedokteran maupun farmasi setelah ada laporan Uji Klinik yang memenuhi persyaratan.

Jadi penggunaannya tidak bisa dibilang "asal" juga.

Penggunaan obat off-label dapat dibagi menjadi beberapa klasifikasi:

1. Off-Label Usia (jika digunakan di luar rentang usia yang telah disetujui, misalnya Parasetamol yang diberikan kepada bayi prematur).

2. Off-Label Dosis (jika digunakan dengan dosis yang berbeda dari dosis yang telah disetujui).

3. Off-Label Indikasi (jika digunakan di luar indikasi yang tertera pada brosur yang disetujui, misalnya Metformin sebagai obat antidiabetes digunakan juga untuk PCOS atau Levamisol sebagai obat antiepilepsi digunakan juga sebagai immunomodulator/stimulasi imun).

4. Off-Label Kontraindikasi (jika penggunaannya  menimbulkan kontraindikasi bagi pasien yang usianya tidak sesuai dengan peruntukkan obatnya)

Namun demikian, ada juga beberapa obat yang tadinya digunakan sebagai Off-Label akhirnya memperoleh persetujuan, misalnya:

1. Propranolol sebagai obat aritmia (kelainan irama) jantung dan angina pectoris (serangan jantung), juga digunakan secara Off-Label untuk mencegah serangan migrain. Dan bertahun-tahun kemudian, Propranolol untuk mencegah #migrain akhirnya disetujui (On-Label).

2. Gabapentin sebagai obat anti-epilepsi akhirnya juga disetujui untuk mengobati nyeri neuropati.

3. Aspirin yang digunakan sebagai antipiretik (demam) akhirnya juga disetujui sebagai obat anti-platelet (mencegah penggumpalan darah).

Boleh dikatakan penggunaan obat off-label umum dilakukan oleh dokter dengan catatan bila tidak ada standar dosis atau penggunaan untuk mengobati penyakit tertentu atau bila standar pengobatan yang telah dilakukan tidak berhasil.

Dan seperti yang telah disinggung sebelumnya, penggunaan obat off-label haruslah didasarkan pada bukti ilmiah yang kuat, terutama mengenai evaluasi efikasi (khasiat) dan keamanan obat.

Oleh sebab itu dokter harus terus meng-update pengetahuannya mengenai validitas indikasi obat-obat Off-Label tersebut.

Sama halnya dengan #farmasis yang juga harus ter-update mengenai indikasi-indikasi obat off-label supaya tidak menimbulkan perbedaan persepsi dengan dokter yang bersangkutan.

Bila ada yang dirasa kurang sesuai pada resep obat, baiknya farmasis mengkonfirmasi resep tersebut kepada dokter yang meresepkan.

OBAT OFF-LABEL DARI PERSPEKTIF PASIEN

Ada kalanya dosis pengobatan yang diterapkan kepada seorang pasien tidak berhasil.

Oleh sebab itu pasien bisa saja meminta dokter untuk memberikan alternatif pengobatan lainnya, dan pada saat ini dokter bisa saja mengusulkan penggunaan obat off-label.

Jadi akan ada diskusi dan kesepakatan antara dokter dan pasien ketika akan mencoba pengobatan lainnya.

Tentunya hal ini bisa memberikan efek positif dan negatif bagi pasien.

Positif jika memang pengobatan off-label yang diterapkan memberikan hasil yang diinginkan, tetapi bisa juga negatif karena seakan menempatkan pasien sebagai "kelinci percobaan".

Oleh sebab itu pasien saat ini juga diminta untuk lebih aware jika akan menebus resep.

Paling tidak tanyakan kepada #apoteker mengenai fungsi dari masing-masing obat, cara dan waktu penggunaannya, dan sebagainya.

OBAT OFF-LABEL DARI PERSPEKTIF INDUSTRI FARMASI

Selama proses pengembangan oleh industri farmasi, suatu obat yang diteliti bisa saja memiliki banyak indikasi namun tentu saja perusahaan farmasi harus bisa selektif dalam memilih indikasi yang akan dikembangkan.

Mengapa? Sebelum obat baru memperoleh persetujuan dari regulator untuk dipasarkan, industri harus melakukan uji pre-klinik dan uji klinik untuk membuktikan khasiat dan keamanan obat.

Jadi jika semakin banyak indikasi yang diteliti, maka waktu yang dibutuhkan akan semakin lama dan biaya yang dikeluarkan akan semakin besar.

Tentunya hal ini tidak memberi keuntungan ekonomi bagi industri karena perolehan persetujuan pemasaran (Marketing Authorization) dari regulator akan semakin tertunda.

Penggunaan obat off-label bisa jadi menguntungkan industri farmasi karena secara tidak langsung akan ada pengembangan lebih lanjut mengenai indikasi suatu obat namun tidak dilakukan oleh industri tersebut secara langsung.

Jadi begitu indikasi obat off-label semakin banyak digunakan dan memberikan respon yang positif, barulah industri tersebut kembali melakukan pengembangan untuk memantapkan indikasi baru tersebut.

OBAT OFF-LABEL DARI PERSPEKTIF REGULATOR

Saat ini, penggunaan obat off-label sebenarnya masih banyak menimbulkan kontroversi.

Beberapa negara ada yang menganggap penggunaan obat off-label adalah sesuatu yang ilegal, tetapi ada juga yang tidak.

Tren penggunaan obat off-label ini akhirnya akan menuntut regulator (pemerintah) untuk menyusun panduan (guideline) untuk mengatur penggunaan obat off-label dengan mengutamakan benefit-risk ratio.

Intinya regulator harus memainkan perannya sebagai pengawas guna memberikan perlindungan bagi konsumen atau pasien.

Hingga saat ini yang saya tahu (dan semoga saya tidak salah) penggunaan obat off-label di Indonesia masih diterapkan sehingga peresepan obat off-label belum bisa dikategorikan sebagai peresepan yang melanggar hukum.

Karena seperti yang telah saya sebutkan sebelumnya, penggunaan obat off-label bisa jadi lebih menguntungkan pasien ketika tidak ada opsi lain untuk terapi.

Namun demikian peresepan obat off-label tetap memiliki resiko tinggi karena data mengenai efek samping yang kemungkinan akan timbul belum memadai.

Penggunaan obat off-label ibarat pedang bermata dua, dimana di satu sisi dapat menjadi sangat berguna bagi sejumlah pasien namun di sisi lain justru menempatkan sejumlah pasien sebagai bagian dari eksperimen. #tanyaapoteker

Referensi:
https://www.fda.gov/ForPatients/Other/OffLabel/ucm20041767.htm
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4008928/
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3538391/pdf/main.pdf
http://repository.umy.ac.id/bitstream/handle/123456789/7275/6.%20BAB%20II.pdf?sequence=6&isAllowed=y
http://nrs.harvard.edu/urn-3:HUL.InstRepos:8852151
https://www.kompasiana.com/irmina.gultom/5acae691dcad5b09d324dbf4/penggunaan-obat-off-label-ibarat-pedang-bermata-dua?page=all

0 comments:

Post a Comment

 

Informasi &; inspirasi Copyright © 2011 - |- Template created by O Pregador - |- Powered by Blogger Templates